Hidup itu ngga bisa ditebak ya, apa yang kita rencanakan kadang tidak bisa berjalan sesuai keinginan tapi yang kita hiraukan justru mengubah roda kehidupan. Kalau kata Nadin "Bun, hidup berjalan seperti bajingan" dan ini adalah kisah dimana tulang rusuk dan tulang punggung.


(source : freepik.com)


Aku akan flashback ke tahun 2022, dimana semua bermula. Awal tahun ini harusnya menjadi momentum yang menggembirakan untukku karena bisa melanjutkan karir di tempat baru dari yang sebelumnya berdarah-darah. Ku pikir ini menjadi pertanda yang baik di tahun itu, mengingat fasilitas yang didapat dan waktu bekerja yang lebih manusiawi. Akhirnya aku merasakan bekerja dengan damai dan senang.


Tapi ternyata kedamaian itu tidak berlangsung lama. Bukan karena pekerjaanku, tapi karena suamiku ada satu dan lain hal di pekerjaannya hingga akhirnya memutuskan untuk berhenti. Apakah sudah memikirkan matang kedepannya? Tentu belum, tapi kami mencoba bersama mencari solusi.


Tepat bulan April, suamiku berhenti bekerja kantoran. Namun kami sudah berencana untuk membuka usaha dari bulan sebelumnya. Suami mencoba berjualan aneka minuman. Kami menargetkan untuk dapat momen bulan puasa. Awalnya kami optimis dengan hasil penjualan di awal, namun semakin hari mulai pesimis karena hasil tidak sesuai target ditambah faktor eksternal seperti hujan menjelang waktu berbuka puasa.


Aku sempat turun tangan awal berjualan, namun setelahnya aku ngga banyak membantu karena aku pun WFH. Aku lihat betapa berjuangnya suamiku, dari pagi setelah sahur sudah belanja ke pasar untuk menyiapkan dagangan walaupun jualan mulai siang hari. Pulang kadang sudah hampir jam 9 malam.


Sebenarnya sebelum memulai usaha pun aku sudah coba jelaskan kemungkinan pahit yang bisa terjadi. Aku yang terlalu skeptis ini disatukan dengan orang yang terlalu optimis. Akhirnya aku harus tega melihatnya berdarah agar dia tidak keras kepala. Semua itu adalah pembelajaran untuk kami dan ada harga yang harus direlakan.


Aku yang ngga tega melihat dia jungkir balik namun hasilnya ngga sepadan akhirnya meminta dia beristirahat saja sembari mencari pekerjaan kantoran lagi. Memang kalau berniaga ada turun dan naik, tapi kami memutuskan untuk berhenti supaya tidak tambah merugi dan pertimbangan finansial juga. Kurang lebih hanya berjalan 3 bulan usaha tersebut dan ya harus ikhlas dengan semuanya.


Semenjak suami berhenti kerja kantoran dan mulai usaha, bisa dibilang peranku berubah menjadi tulang punggung. Apakah aku sedih? Sebagai manusia biasa tentu ada sedikit kesedihan, tapi aku tetap bersyukur dengan apa yang aku dapat dan miliki.


Cobaan wanita adalah ketika tidak memiliki harta, sedangkan laki-laki akan dicoba dengan harta, tahta, dan wanita. Bagaimanapun dia adalah suamiku, imamku dan aku tetap rulang rusuknya. Walaupun saat itu dia tidak berpenghasilan, aku harus tetap menghormati dan menghargainya.


Dalam masa sulit itu, kami jadi banyak menghabiskan waktu bersama dari mulai melakukan perkerjaan rumah, memasak, hingga sering berolahraga. Saat aku harus WFO pun jadi bisa diantar-jemput suami. Selain bersamaku, dia juga jadi lebih banyak waktu untuk orangtuanya.


Alhamdulillah, walaupun hanya aku yang bekerja tapi kami tidak kekurangan sesuatu apapun persis dengan doa yang selalu kuucapkan setelah sholat. "Dibalik kesulitan pasti ada keberkahan". Qadarullah, bulan Agustus jadi bulan yang membahagiakan karena akhirnya aku hamil setelah menunggu 3 tahun pernikahan. Namun kebahagiaan kami masih terselip rasa khawatir akan kondisi finansial. Beruntunglah ada asuransi dari kantorku yang cukup membantu.


Memang jalan Allah membuat suamiku berada selalu dekat denganku. Awal kehamilanku sangatlah berat, mulai dari HeG yang membuatku susah makan sampai kena DBD. Suamiku tentu yang senantiasa merawatku, bahkan segala pekerjaan rumah dia yang kerjakan. Ngga kebayang kalau harus mengurus diri sendiri.


Seiring berjalan waktu dan usia kandungan semakin besar, tentu ada kekhawatiran darinya akan biaya persalinan dan keinginannya juga untuk menafkahiku. Kami pun harus mencari alternatif tempat kontrol kehamilan dan melahirkan mengingat di RS Swasta biayanya cukup besar. Kebetulan ada temannya yang bidan merekomendasikan klinik di daerah Pasar Rebo dan setelah coba kontrol di sana juga bagus.


Ngga bisa dipungkiri, masalah finansial dalam rumah tangga pasti sangat mengganggu pikiran. Apalagi suamiku yang merasa harusnya dia lah tulang punggung. Begitu banyak pekerjaan yang dia lamar dan hanya beberapa yang mendapat kesempatan interview. Namun hasilnya juga belum ada yang menerimanya.


Aku lagi-lagi harus melihat dia sedih bahkan dia sempat putus asa, rasanya aku hancur juga. Aku hanya bisa memberikan dia waktu dan tetap menemani melewati titik rendah itu. Aku ngga pernah menuntut dia untuk segera bekerja, setelah tahu seberapa besar perjuangannya mencari kerja. Ketika dia ikhtiar, aku cuma bisa mendoakan. Walau dalam doa sebenarnya aku juga ingin dia segera bekerja karena bagaimanapun kondisi keuangan mulai terasa berat.


Ketika itu yang ada dipikirannya adalah bekerja, dimana saja yang penting bisa kerja. Rupanya Allah mendengar doa di antara sujudku untuk tulang punggungku. Akhirnya setelah hampir setahun tidak kerja kantoran, ada hasil yang didapatkan yaitu tawaran kerja di Palembang dan Bandung. Begitu bahagia terukir di wajahnya, aku pun turut bahagia. Tapi aku jadi sedih mengingat apapun yang dia pilih berarti harus menjalani LDM.


Di kehamilanku yang memasuki trimester akhir, kami pun harus terpisah jarak demi mencari rezeki untuk calon buah hati. Mungkin memang ini sudah jalannya untuk kami, ujian tentang materi sudah terlewati kini berganti ujian tentang jarak. Doaku selalu menyertainya dimanapun dia berada semoga selalu dalam lindungan Allah SWT. Semoga keluarga kami bisa selalu jadi sakinah, mawadah, warahmah, dan dapat melewati segala suka-duka yang masih jadi rahasia lillahi ta'ala. 


Teruntuk para perempuan dan istri, semangat kalau kalian sedang berada di posisi harus menjadi tulang punggung. Melahirkan yang bagai patah 20 tulang saja kita mampu, jadi kita pasti mampu juga menjadi penopang hidup. SEMANGATTTTTT :)

Cerita rasanya jadi mama sebelumnya seputar mengandung kamu. Kalau yang ini udah masuk tahap mau melahirkan kamu. [Trigger Warning] Ada proses lahiran yang tidak di sensor

Setelah merasa kontraksi udah rutin, mama sama uti akung langsung berangkat ke klinik. Mama juga langsung ngabarin papa kamu. Ih sepi betul jalanan, sampai akung tuh ngebut bawa mobilnya. Tapi karena jalanan bergelombang, ditambah naik Kijang juga yang getarannya berasa, wah mama sampe marah-marah ke akung minta untuk bawa mobil pelan-pelan. Tapi ya namanya darurat, mana bisa pelan-pelan.

Uti duduk disebelah nenangin mama, suruh atur nafas dan coba rileks badannya jangan dilawan nyerinya. Berhubung mama sempat ikut les vokal jadi ngerti lah atur nafas pake nafas perut gitu. Cuma emang dasar mama toleransi nahan sakitnya lemah banget jadi sepanjang perjalanan ya tetep jerit-jerit kecil hehe

Begitu sampe depan klinik, rasanya udah lemes dengkulnya. Coba pelan-pelan turun dan bresssssss... pas banget baru turun dan senderan di pintu mobil ketuban mama pecah. Sambil dituntun uti akung langsung masuk ke klinik dan menuju ke ruang bersalin.

Waktu itu udah hampir jam 3 pagi pas mama diperiksa dan udah pembukaan 5. Wow, mama terkejut karena mikirnya ngerasain pembukaan itu lama. Mama kira langsung stay di ruang bersalin tsetelah diperiksa tapi ternyata disuruh ke kamar dulu. Duh, mesti jalan! Untung kamarnya seberang ruang bersalin, tapi tetap aja kaki udah lemes.

Begitu sampai kamar, mama dimasukin obat pencahar gitu buat membersihkan dubur. Bayangin lagi mules kontraksi, pengen poop juga tapi ngga boleh ngeden. Emang sih karena obat jadi ngga perlu ngeden juga langsung keluar kotorannya.

Selesai poop, mama berbaring dikasur. Kontraksi udah rutin dan makin meningkat nyerinya. Rasanya ngantuk banget, capek juga sampai mama bilang ke uti ngga kuat. Coba nih saat diserang gelombang cinta, (halah preet, kalo cinta mah ngga nyakitin) mama disuruh santai, lemesin badan, atur nafas, ngga boleh ngeden ataupun menegang badannya. Bayangin aja saat sakit buangeeeettt, badan reflek nahan sakit dengan mencengkram tapi ngga boleh kaya gitu.

Uti bilang coba disempetin tidur. Ya boro-boro, emang sih mama udah sambil merem karena ngantuk banget tapi tiap mau pules, eh kontraksi lagi dan ya begitu suruh lemesin lagi kaga boleh ngeden. Sampe akhirnya mama udah ngga kuat tuh dan mengeden sambil teriak. Uti bilang ngga boleh kaya gitu karena ngga guna nanti malah habis tenaganya. Akhirnya uti panggil bidan, terus dicek dan udah disuruh ke ruang bersalin.

Oiya, karena tensi mama tinggi jadi masih nunggu dokter buat lahiran. Setelah di ruang bersalin dan dicek ternyata kepala kamu masih belum kepegang. Jadi selama di ruang bersalin tuh mama tidur miring sambil kakinya sebelah ke atas dan harus ngeden pas kontraksi. Rasanya enak banget tuh karena boleh ngeden pas kontraksi.

Mama sempat salah pas awal suruh ngeden, ya abis dibilang kaya ngeden pas sembelit sementara mama alhamdulillah buang airnya lancar. Mama gatau berapa lama nunggu dokternya, yang jelas mama rasanya udah ngantuk banget.

Akhirnya dokter datang, ngga lama 2 bidan ngambil posisi. Satu duduk di belakang kepala mama, satu lagi di samping buat bantu dokter juga kayanya. Mama udah siapin mental, "Wah, udah ini mah pasti sakit".

Pas kontraksi datang disuruh ngeden, sembari bidan yang di atas dorong perut mama kuat banget. Nafas mama kacau, mama bisa ngeden dengan tarikan nafas sedikit tapi setelah selesai ngeden jadi gelagapan kehabisan nafas padahal selang oksigen juga terpasang. Akhirnya tiap selesai ngeden mama bilang "bentar nafas dulu"

Mama ngga inget berapa kali ngeden, tapi yang mama inget itu pas ngeden ketiga kayanya "sreeeek sreeekk" dirobek lah perineumnya. Sakit? Udah ngga berasa sakitnya itu. Beberapa kali ngeden lagi, akhirnya kamu keluar. Pas kamu ditarik keluar tuh rasanya lega banget. Kamu langsung ditaro di dada mama untuk IMD.

Pas mama lahiran itu papa kamu belum datang, jadi mama masih ditemani sama uti. Kamu lahir jam 05.18 dan mama pas kamu lahir itu nangis ngejer kaya perasaan campur aduk tapi pikirannya blank. Dokternya sampai nanya "heh, kenapa". Uti masih terus nemenin mama kan dan uti juga yang tenangin. Mama juga bingung kenapa nangisnya begitu hehe...

Mama udah ngerasa lega karena di otak mama udah selesai perjuangannya. Eh daku lupa kalau perineum yang disobek itu harus dijahit. Alhasil mama jerit-jerit pas dijahit walaupun katanya juga udah dikasih semacam obat bius lokal. Mama udah bilang kan toleransi sakit mama kecil banget dan mental mama tidak dipersiapkan untuk menghadapi sakitnya dijahit itu.

Kamu masih terus di dada mama sampai akhirnya papa datang deh sekitar jam 6 kayanya. Abis itu kamu diadzanin sama papa terus lanjut dibersihin sama bu bidan.


Kirana Syafa Idham, kisah ini untuk pengingat kami betapa kamu sangat dinanti hadir dalam hidup mama dan papa. 3 tahun dinanti, 3 trimester dilalui, 3 jam perjuangan hidup dan mati


Hai nak, tulisan ini mama buat kalau nanti kamu mau tahu gimana kamu menjadikan aku seorang mama, kisah mama saat mengandung dan melahirkanmu.


Setiap ibu dan calon ibu pasti pejuang hebat. Kami cuma beda di perjalanannya aja, ada yang menyenangkan, ada juga yang butuh kerja keras.


Mama mungkin termasuk yang butuh tenaga ekstra ya. Di awal kehamilan, trimester pertama begitu berat. Mama yang doyan makan apa aja, seketika berubah jadi orang yang picky makanan. Awal cuma bisa makan beef teriyaki sama pasta atau mie. Mama juga Hiperemesis Gravidarum (HeG), jadi mual-mual parah banget. Itu juga yang bikin mama ngga bisa banyak makan.


Berat badan mama sampai turun waktu itu. Tapi alhamdulillah, setiap kontrol perkembangan kamu baik.


Selain bermasalah dengan nafsu makan, mama juga ngga kuat cium bau masakan termasuk masak nasi. Alhasil selama 3 bulan itu makannya selalu beli atau ya papa yang masak. Kompor sampai harus diungsikan ke atas biar papa bisa masak.


Masuk trimester kedua, awalnya mama merasa sudah membaik. Sudah bisa makan biasa dan cium aroma masakan, tapi tiba-tiba mama demam dan muntah-muntah hebat lagi sampai kali ini ngga bisa masuk makanan sama sekali. Akhirnya ke UGD tapi karena itu baru satu hari kejadian seperti itu, dokter suruh rawat dirumah aja karena diagnosanya HeG. Besok harinya karena papa panik, mama juga udah lemes ngga bisa makan jadi balik lagi ke RS minta dirawat. Tahu ngga nak, ternyata mama kena DBD. Ya ampun itu mama deg-degan takut kamu kenapa-kenapa.


Mama dirawat seminggu, alhamdulillah lagi-lagi kamu kuat dan perkembangannya baik. Setelah pulang, semuanya mulai membaik. Trimester kedua ini bisa dibilang paling nyaman lah. Mau kegiatan apa-apa bisa, mau makan apa aja juga udah bisa.


Memasuki trimester ketiga ini, harusnya papa kamu jadi suami siaga. Tapi justru papa kamu dapet kerjaan di Bandung. Mama seneng tapi hati terpotek karena waktu itu udah masuk usia kehamilan 33 minggu. Udah persiapin kamar buat nyambut kamu, eh malahan harus mengungsi ke rumah uti akung.



Mama prediksi kamu lahir di akhir April, tapi papa kamu doanya di awal Mei biar deketan sama ulang tahunnya. Papa doanya kamu lahir malam biar jalanan sepi dan lancar pas menuju klinik, sama jangan di tanggal awal banget karena kerjaan papa banyak awal bulan. Qadarullah, tuh doa papa kamu ya diijabah.


Tanggal 4 Mei, tengah malam mama kebangun. Mama kebiasaan kebangun tengah malam buat pipis, tapi ini mama kebangunnya kaget gitu kaya ada tendangan kenceng banget di perut. Mama masih mikir ah kontraksi palsu kali, tapi udah siap megang hp dan coba hitung pake contraction counter. Pas abis pipis kok rasa mulesnya kaya mau mens gitu. Mama coba atur nafas, oke masih aman bisa ditahan.


Pas abis pakai celana, muncul lagi mulesnya. Dalam hati, oke kayanya beneran udah mulai kontraksi.


Mama sempetin cuci ketek, gosok gigi dulu jaga-jaga emang harus pergi ke klinik. Lah kok abis itu makin berasa kuat tuh kontraksinya. Udah langsung mama masuk-masukin perintilan barang mama ke tas, terus mama ketuk pintu kamar Bude Findi. Yang bukain Pakde Halim, budenya masih belum nangkep kalo mama minta tolong bantuin turun ke bawah. Jadinya dituntun turun ke bawah sama pakde, terus mama masih duduk dulu buat mastiin kontraksinya.


Udah makin berasa kuat kontraksinya, mama langsung ke kamar uti buat bangunin. Uti bangun dan langsung bangunin akung minta nyiapin mobil. Perlengkapan persalinan udah disiapin jadi bisa langsung dibawa. Cuuuuus bertiga langsung berangkat ke klinik (bersambung...)

Baca selanjutnya : Rasanya Jadi Mama part 2

Perjalanan rumah tanggaku memang baru mau menginjak 2 tahun, tapi kehidupanku sudah banyak berubah. Sebelum menikah, aku pernah berambisi untuk menjadi wanita karir yang sukses tapi setelah menikah justru timbul keinginan untuk menjadi ibu rumah tangga.

(source: freepik.com/premium-vector/super-mom-stressed-mother-business-housework-activities_4617615.htm)

Situasi pandemi ini pun telah mengubah cara bekerja kita. Sebagai seorang istri yang juga bekerja, dengan adanya kebijakan untuk bisa bekerja dari rumah (work from home) membuat aku bisa memaksimalkan waktu di rumah. Kalau berpikir kerjanya jadi lebih ringan, oh tentu tidak haha


Untuk ukuran aku yang belum punya anak saja, kerjaanku justru jadi berkali lipat lelahnya. Bayangkan aja, pagi selepas subuh sudah ada yang dikerjakan entah cuci baju (ini sepaket sama menjemur ya), angetin makanan, masak, bebenah rumah, atau bahkan menyetrika pakaian.


Berbeda saat kerja kantoran, mungkin hanya sempat untuk menyiapkan makanan dan cuci baju. Itu pun cuci baju kadang dilakukan per 2 hari. Urusan bebenah rumah juga dulu biasanya dilakukan di weekend atau ya mungkin tengah minggu. Sekarang karena segala aktivitas dilakukan di rumah, tentu rumah jadi lebih mudah berantakan.


Ditambah lagi karena aku yang ngga begitu suka ngeliat tempat berantakan. Ya walaupun kadar kerapihannya masih dibawah ibu dan ibu mertuaku sih hehe, tapi tetap aja ini juga yang bikin ada aja domestic work yang dikerjakan tiap hari. Setelah semua pekerjaan rumah kelar, baru aku bisa mengerjakan kerjaan kantor.


Eh tapi kadang ada aja yang bikin kita ngga bisa fokus sama kerjaan kantor. Maksudnya, seperti terpotong untuk melakukan hal yang terkait urusan rumah. Alhasil, jam kerja kantor kita kadang jadi seperti lembur. Ya itu konsekuensi karena aktivitas kita sendiri sih.


Tapi dengan work from home, aku berpendapat bahwa sebenarnya kita bisa menjadi wanita karir yang bisa mengurus rumah tangga juga daripada harus memilih di antara keduanya. Kalau ada yang harus dikorbankan, sudah tentu ya jam istirahat dan butuh tenaga ekstra.


Apapun pilihanmu, baik wanita karir, ibu rumah tangga, ataupun menjadi keduanya, kita wanita harus tetap bisa menempatkan diri. Jangan sampai karena merasa berhasil menjadi wanita karir kemudian bertindak superior terhadap pasangan. Ataupun ketika memilih menjadi ibu rumah tangga, kita harus tetap belajar dan tahu perkembangan dunia luar, lebih bagus lagi bila kita punya keterampilan tambahan agar kita tidak melulu hanya bergantung dengan pasangan.

Sudah satu setengah tahun usia pernikahanku dan kami belum diberikan keturunan. Mungkin bisa dibilang terlalu cepat untuk bersedih karena aku tahu bahwa masih banyak pasangan yang sudah bertahun-tahun berjuang untuk dapat dua garis biru, ya menunggu hadirnya buah hati.

Pejuang dua garis biru
(source: freepik.com/free-photo/sad-woman-complaining-holding-pregnancy-test-sitting-bed_3395847.htm)

Tapi hati siapa yang tak sedih melihat teman yang menikah setelah kalian atau bahkan baru menikah memposting foto hasil USG ataupun menggendong anak? Bukankah anak itu adalah rezeki? Iya, aku tahu. Tak boleh aku iri dengan itu semua, walau kadang setan mengguncang hati ini.


Turut bahagianya aku melihat mereka memajang foto USG dan bersyukur juga dengan mereka yang persalinannya lancar. Allah Maha Baik!


Entah rahasia Allah apa yang akan diberikan kepadaku dan sebagai hamba tentunya harus terus ikhtiar. Dalam perjalannya mungkin tidak selalu mulus, tapi yang terpenting kita harus tetap berpikiran positif.


Semakin kesini rasanya hati ini semakin ikhlas dengan semua ketetapan dari Yang Maha Kuasa. Setiap bulan saat masa haid datang, tak ada lagi rasa kecewa karena dua garis biru belum juga muncul. "Tidak apa-apa" batinku, karena aku tahu mungkin belum saatnya.


Apakah aku yakin sudah siap jadi orangtua?

Kalimat itu kini sering terlintas di kepala. Kadang aku berpikir mungkin memang aku belum siap menerima dua garis biru. Menjadi orangtua itu bukan suatu pekerjaan yang bisa berhenti kapan saja saat kita sedang lelah. Menjadi oranguta itu adalah peran yang harus kita jalani seumur hidup.


Berkaca dari pengalaman orang terdekat, sungguh tidak mudah mengurus anak. Ditambah lagi apabila kondisi kedua orangtuanya bekerja dan belum ada asisten untuk mengurus anak, lantas siapakah yang akan mengurusnya? Kebanyakan adalah orangtua kita atau nenek-kakek dari si anak.


Untuk yang sudah financial stable, mungkin anak bisa diurus menggunakan jasa daycare. Tapi ada juga yang dari nenek-kakek "tidak percaya" apabila cucu mereka dititipkan tanpa ada keluarga yang mengawasi.


Jika diurus oleh orangtua kita, biasanya ada beda pendapat tentang "kebiasaan" mengurus anak jaman dahulu dengan sekarang. Belum lagi kadang urusan rumah tangga lain yang jadi satu paket dengan anak seperti baju kotor, makanan anak, dan sebagainya menjadi ajang penilaian dari orangtua terhadap kita.


Memang pasti butuh proses bagi kita untuk menjadi orangtua dan mengurus semuanya dengan "benar", tapi kadang mereka lupa bahwa kita sedang belajar.


Dua garis biru dan kebahagiaan

Hakikatnya manusia menikah adalah untuk melanjutkan kehidupan dengan keturunannya. Namun jika dua garis biru adalah patokan kebahagiaan, aku sangat tidak setuju. Memiliki anak sebenarnya adalah suatu pilihan. Pilihan yang kita buat tentunya kembali kepada Yang Maha Menentukan.


Untuk mendapatkan dua garis biru bisa jadi adalah hal yang harus diperjuangkan sedemikian kerasnya, bahkan butuh waktu dan biaya yang tidak sedikit. Lantas apakah mereka tidak bisa bahagia jika tidak memiliki keturunan?


Anak tentunya membawa kebahagiaan tersendiri, tapi bukan berarti kita tidak bisa bahagia tanpanya.

 

Dengan atau tanpa dua garis biru, kebahagiaan akan selalu ada karena "Kebahagiaan adalah kita yang menciptakan."

Kalau mendengar kata kuret kayanya identik dengan keguguran, naudzubillah. "Kuret sebenarnya adalah nama sebuah alat operasi untuk mengeluarkan jaringan dari dalam rahim. Prosedurnya disebut kuretase." (quote: Alodokter.com).


Nah, tanggal 24 Agustus 2020 aku melakukan kuretase untuk menghilangkan polip endometrium. (baca : Ada Polip Endometrium)

Sebenarnya dr. Mathius menyarankan untuk menggunakan histeroskopi tapi karena di RS Moh Ridwan Meuraksa tidak menyediakan fasilitas tersebut jadinya ya kuret biasa.

Pengalaman Melakukan Kuret
(source: freepik.com)

Aku mulai masuk RS untuk persiapan operasi dari malam tanggal 23 Agustus 2020. Malam itu juga aku mulai dipasang infus. Ini kali kedua aku dirawat di RS dan harus diinfus. Ya Allah, itu sampai 3 kali tusuk jarum di tangan baru berhasil masuk infusannya karena katanya pembuluh aku tipis jadi susah ketemunya haha...


Singkat cerita, untuk persiapan tindakan esok harinya aku juga harus puasa dari jam 3 pagi sampai selesai operasi. Aku dijadwalkan untuk tindakan operasi pukul 09.30. Sebelum itu, aku dicek tekanan darah dan juga disuntik antibiotik untuk memastikan bahwa tidak ada reaksi alergi. Oiya, aku juga diberi obat secara oral dan juga dimasukkan melalui vagina untuk merangsang pembukaan mulut rahim kata susternya. Setelah minum obat itu rasanya mules dan kram perut seperti orang mau menstruasi, ini juga efek ke aku jadi mencret-mencret haha...


Akhirnya tiba saat ke ruang operasi. Paling ngga suka operasi itu karena kita cuma berlapis sehelai kain terus didiemin lama gitu nunggu persiapan ruang operasinya. Mana dingin banget kan sampai aku ngeliat kuku kaki aku membiru gitu. Sebelum operasi ini disuruh buang air kecil, eh tapi malah mencret lagi hahaha... Maaf ya ini aku nulisnya terlalu terbuka :p


Nah, sampailah aku di meja operasi. Waktu konsultasi sebelumnya, aku tanya dr. Mathius katanya bius umum, tapi ternyata anastesinya ini bius lokal dong. Wah, itu aku deg-degan parah di ruang operasi soalnya kan aku pernahnya bius umum yang disuntik lewat infus. Kalo bius lokal ini disuntik melalui tulang belakang atau sering disebutnya bius spinal.

bius spinal
(source: atxortho.com)

Kurang lebih ilustrasinya seperti gambar di atas. Jadi ada perawat yang megangin bahu aku sambil badan aku dibungkukkan, kemudian dokter anastesi menyuntikan obat biusnya. Begitu jarumnya ditusuk, mantaaap banget dah tuh rasanya. Aku kaget kan tapi kata perawat jangan dilawan karena bahaya, jadi perawatnya nahan bahu aku itu untuk nahan reflek badanku. Perawatnya bilang lemesin aja jangan tegang, yauda pasrah aja dah orang jarumnya juga udah nusuk.


Pelan-pelan mulai terasa efeknya, pertama mulai dari pantat aku berasa kesemutan. Terus yang tadinya kaki kedinginan jadi berasa hangat gitu. Perawat menyuruh angkat kaki kanan dan kiri bergantian, sampai kaki aku tidak bisa diangkat berarti sudah bisa dimulai tindakannya.


kuretase
(source: mygynaec.com)

Proses kuret berlangsung sekitar 10-15 menit, tidak begitu lama. Setelah operasi ada nyeri dan sedikit kram perut. Setelah operasi, aku masih harus puasa sampai pukul 3 sore, jadi total puasa 12 jam. Tenang, rasa nyeri tidak begitu terasa karena masih ada pengaruh obat bius ditambah suntikan obat penghilang nyeri pada infus.


Oiya, biusnya menghilang pelan-pelan dari ujung kaki. Paling tidak enak ketika biusnya hilang sudah sampai pinggang, karena itu langsung berasa kandung kemih penuh tapi bingung gimana mau buang air kecil karena kaki masih lemes. Jadi ini tips kalau kalian harus bius spinal, misalkan biusnya sudah hilang di kaki dan kakinya sudah bisa diangkat, lebih baik pelan-pelan belajar berdiri dan jalan.


Keesokan harinya aku sudah boleh pulang, jadi total aku dirawat di RS itu 3 hari. Nah, untuk keseluruhan biaya operasi, perawatan, dan obat kelas 3 di RS Moh Ridwan Meuraksa itu Rp 5.813.631,- 


Pasca operasi kuret, aku juga harus tetap istirahat. Pas di RS sempat merasa sudah fit, tapi ternyata pas pulang ke rumah dan harus bolak-balik naik ke lantai 2 jadi berasa nyerinya. Tadinya udah mau olahraga aja tapi ya kutahan aja dulu sampai benar-benar sehat. Oiya, setelah kuret juga tidak boleh berhubungan badan kurang lebih 2 minggu, tapi untuk jaga-jaga lebih baik menunggu hingga setelah haid selanjutnya.


Semoga setelah proses ini, rahimku kembali sehat dan dengan izin Allah bisa langsung dikasih keturunan. Aamiin

Sehat selalu gaess!!

Setelah diketahui terdapat polip endometrium, aku masih bersikap santai karena kata dokter belum akan ada tindakan karena masih dalam observasi selama 3 bulan. Namun seminggu setelah pemeriksaan itu, tepatnya tanggal 14 Agustus 2020, aku mengalami pendarahan lagi setelah sehari sebelumnya berhubungan. Pikirku mungkin hanya sehari saja, jadi aku tidak ke dokter.

Ada Polip Endometrium
(source: freepik.com)


Keesokan harinya ternyata masih mengalami pendarahan disertai dengan kram perut, seperti halnya orang sedang menstruasi. Bedanya kalau ini terlihat darahnya berwarna cerah, seperti darah segar. Sampai siang, perut masih tidak enak dan baru memutuskan untuk ke dokter. Tapi sayangnya, hari itu (Sabtu) dr. Bambang di RS Harapan Bunda hanya praktek pagi dan tidak ada praktek minggu.


Karena merasa kram dan semakin lemas, akhirnya memutuskan Minggu pagi ke dokter di RS Bunda Margonda. Aku dan suami datang pagi untuk daftar konsultasi. Sebenarnya pagi itu ada dokter obsgyn yang praktek, tapi baca review beberapa orang kurang puas dokter tersebut. Jadi aku memutuskan untuk konsul ke dr. Selly Septina. Kebetulan jadwalnya berubah jadi jam 1 siang, jadi kami pulang dulu ke rumah.


Tiba waktunya konsultasi, hanya aku sendiri yang diizinkan masuk jadi suami menunggu di luar. Berbeda dengan di RS Harapan Bunda, mungkin untuk mentaati protokol kesehatan juga dikarenakan ruang konsultasi lebih kecil dan tertutup. Setelah aku jelaskan keluhanku, dokter menyuruhku untuk berbaring di meja ginekologi kemudian memeriksa dengan menggunakan speculum. Berbeda dengan pengalaman-pengalaman sebelumnya, kali ini tidak terasa sakit sama sekali. Saat diperiksa bagian dalamnya, ada area yang sakit entah itu ditekan atau disentuh.


Akhirnya dokter menyuruhku ke tempat tidur untuk dilakukan USG transvaginal. Hasilnya sama dokter bilang ada polip di endometrium.


dr. Selly menyarankan untuk segera melakukan tindakan karena seringnya pendarahan. Akhirnya aku dijadwalkan untuk tindakan Jumat, 21 Agustus 2020. Sebelum tindakan, ada beberapa tes laboratorium yang harus aku lakukan, termasuk PCR atau swab test yang dilakukan esok hari (17 Agustus 2020).


Untuk pemeriksaan kali ini sudah habis Rp 1.264.519,-. Kemudian kami ke bagian informasi untuk menanyakan estimasi biaya lainnya. Dari informasi yang kami dapat,

  • Biaya PCR/ swab test Rp 2.000.000,-
  • Tes lab darah dan urin Rp 990.000,-
  • Biaya tindakan sekitar Rp 9.040.080,- (Di luar biaya kamar dan lainnya)


Aku dan suami sejujurnya bingung karena kami tidak menyangka akan sebesar itu biayanya. Akhirnya aku mengabari kakak dan ibuku sekaligus untuk meminta saran, tapi ujung-ujungnya kembali terserah padaku.


Setelah berdiskusi dengan suami, akhirnya kami memutuskan untuk melanjutkan di RS Bunda. Keesokan harinya, aku ambil darah, urin, dan swab test. Total untuk biaya tes lab adalah Rp 2.748.000,-


Hasil tes darah dan urin bisa ditunggu tapi untuk hasil PCR akan dikabarkan jika sudah selesai, sekitar 2-3 hari. Di luar dugaan, malam harinya hasil PCR sudah selesai. Setelah semua hasil tes lengkap, aku dijadwalkan bertemu dengan dokter anastesi. 


Esok harinya, suamiku tiba-tiba menyuruhku menghubungi RS Moh Ridwan Meuraksa. Dia disarankan oleh ibunya untuk coba di sana. Aku sempat kesal karena sudah menjalankan tes darah dan PCR yang biayanya cukup mahal. Tapi ternyata dia sudah mencari tahu terlebih dahulu kalau biaya di RS Moh Ridwan Meuraksa jauh lebih terjangkau. Ya jelas sih perbedaannya karena itu rumah sakit militer.


Setelah mencari informasi lebih lanjut, akhirnya kami memutuskan untuk coba konsultasi serta ingin menanyakan apa bisa segera melakukan tindakan dengan menggunakan hasil tes dari RS Bunda. Tanggal 19 Agustus 2020, kami ke RS Moh Ridwan Meuraksa dan konsultasi ke dr. Mathius Simuruk Gasong.


Kami datang sekitar pukul 7 pagi untuk pendaftaran tapi ternyata dokternya baru ada pukul 10. Lama kami menunggu karena dokternya juga ada tindakan dahulu. Kami baru masuk ruang konsultasi sekitar pukul 11.30.


Ku ceritakan keluhanku sembari menunjukkan hasil USG dan tes lab kemudian dr. Mathius menyuruhku tiduran untuk di USG lagi. USG lewat perut tidak terlihat apa-apa, setelahnya ku di USG transvaginal baru kelihatan ada polip namun menurut beliau sangat kecil.


Kami bertanya apa bisa segera tindakan, beliau bilang karena hasil lab dan PCR sudah ada paling cepat hari Senin, 24 Agustus 2020 karena Kamis libur dan Jumat cuti bersama. Ya begitulah rumah sakit rasa PNS.


Akhirnya kami memutuskan untuk tindakan di RS Moh Ridwan Meuraksa. Oiya, aku juga harus rontgen thorax dulu. Keseluruhan biaya konsul, USG dan rontgen adalah Rp 540.000,-


Woww sangat beda jauh ya. Ya walaupun pelayanan dan fasilitasnya juga beda jauh, tapi ku berharap semoga penanganan dokternya tetap prima. Mohon doanya ya semoga operasinya berjalan lancar dan pemulihannya cepat. Stay healthy guys!